Honorer Desa Menjerit, Tercekik Utang Akibat Dana Tak Cair - TARGET RIAU

Selasa, 10 Juni 2025

Honorer Desa Menjerit, Tercekik Utang Akibat Dana Tak Cair


BENGKALIS - Jeritan honorer desa di Kabupaten Bengkalis kian nyaring terdengar. Mereka kini berada di ujung tanduk akibat belum cairnya dana retribusi desa tahun anggaran 2024. Ironis, hingga pertengahan tahun 2025, dana yang menjadi hak 136 desa itu belum juga disalurkan, membuat roda pemerintahan desa lumpuh dan ribuan honorer hidup dalam tekanan utang yang kian melilit.

"Saya pinjam ke mana-mana hanya untuk bayar cicilan motor dan biaya sekolah anak. Gaji dari desa belum keluar sejak akhir tahun lalu. Mau makan pun harus gali lubang tutup lubang," ujar salah seorang honorer desa yang meminta namanya dirahasiakan.

Padahal, dana retribusi bukan berasal dari pusat. Dana ini murni dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sudah masuk ke kas Pemkab Bengkalis. Anehnya, meski Peraturan Bupati (Perbup) terkait pencairan—yang awalnya Perbup Nomor 2, lalu direvisi menjadi Perbup Nomor 66 Tahun 2024—telah diterbitkan, realisasi pencairan masih nihil.

"Ini jelas bukan soal regulasi lagi. Ini soal kemauan politik dan komitmen moral," tegas salah satu kepala desa yang sudah jenuh menagih kejelasan.

Dampaknya bukan hanya keterlambatan program desa, tetapi juga memunculkan krisis sosial. Banyak perangkat dan tenaga honorer desa kini terpaksa menggadaikan barang, meminjam uang ke rentenir, dan mengalami tekanan mental akibat beban ekonomi yang terus menghimpit.

Pemerintah daerah melalui Bapenda sempat melakukan rapat evaluasi pada Oktober 2024, namun hingga kini belum terlihat tindakan konkret. Kepala BPKAD Bengkalis, H. Hariyadi, yang seharusnya memberi penjelasan kepada publik, memilih bungkam meski sudah berkali-kali dimintai klarifikasi.

Alasan klasik yang kerap dikemukakan—yakni adanya tunggakan dari pusat dan provinsi—dinilai tidak masuk akal karena dana retribusi merupakan kewenangan penuh daerah. Hal ini memunculkan kecurigaan: ada apa sebenarnya di balik mandeknya dana tersebut?

Aktivis dan LSM pun mulai turun gunung. Mereka mendesak dilakukan audit investigasi menyeluruh terhadap pengelolaan dana retribusi. “Jika benar dana itu ditahan atau dialihkan ke pos lain, ini sudah masuk ranah pidana. Jangan sampai rakyat kecil dikorbankan demi kepentingan segelintir orang,” kata salah satu tokoh LSM Bengkalis.

Pakar kebijakan publik turut angkat bicara. Mereka mengingatkan bahwa penundaan penyaluran dana yang telah diatur secara sah dalam peraturan daerah bisa dikategorikan sebagai tindakan maladministrasi, bahkan pelanggaran hukum keuangan negara.

Hingga berita ini diterbitkan, nasib para honorer desa masih menggantung. Desa-desa hanya bisa menunggu, sementara waktu terus berjalan dan beban hidup terus menekan.

"Kalau bukan karena ikhlas, mungkin sudah banyak yang berhenti kerja. Tapi sampai kapan harus begini? Kami hanya ingin hak kami dibayar," lirih salah seorang tenaga honorer perempuan yang kini harus berjualan kue demi menyambung hidup. (Syopian)

Bagikan berita ini

Disqus comments