BENGKALIS - Kemelut ditubuh wakil rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bengkalis, dengan adanya mosi tidak percaya terhadap dua pimpinan DPRD Bengkalis Ketua DPRD Bengkalis Khairul Umam dan Wakil Ketua I DPRD Bengkalis Syahrial, mendapat perhatian yang mendalam dari praktisi hukum di Kabupaten Bengkalis.
Praktisi hukum Masrory Yunas, SE, SH, MH mengatakan, terkait polemik mosi tidak percaya di DPRD Bengkalis terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi, terhadap peristiwa itu.
Pertama, tentang mosi tidak percaya, katanya. Dalam sistem hukum Indonesia tidak mengenal yang namanya mosi tidak percaya, dalam sistem parlementer di barat, mosi tidak percaya itu ditujukan kepada pemerintahan yang sedang berjalan, bukan kepada pimpinan parlemen atau legislatif.
“Dengan adanya pemberitaan terkait mosi tidak percaya terhadap dua pimpinan DPRD Bengkalis, jelas keliru jika ada anggota DPRD menyampaikan mosi tidak percaya, apalagi terjadi antara legislatif kepada legislatif,” ungkapnya.
Kemudian, soal Pergantian Antar Waktu (PAW), timpalnya. Berbicara PAW, tentunya PAW menjadi urusan internal partai bersangkutan, harusnya hanya anggota DPRD bersangkutan saja yang bermasalah dengan PAW tersebut, tidak melibatkan anggota DPRD lainnya.
“PAW adalah urusan internal partai bersangkutan, harusnya hanya anggota DPRD bersangkutan saja yang bermasalah dengan PAW tersebut, tidak semestinya melibatkan anggota DPRD lainnya. Apalagi, dalam hal ini sampai mempermasalahkan pimpinan DPRD, maka ini juga keliru,” ujarnya.
Lebih lanjut sambung Alumni S2 Ilmu Hukum Unilak Pekanbaru ini, secara etik, membawa masalah tersebut ke Badan Kehormatan sudah tepat. Tapi dengan hebohnya mosi tidak percaya, yang dilakukan oleh anggota DPRD Bengkalis kepada pimpinan DPRD itu merupakan gambaran, yang tidak patut dipertontonkan ke publik.
“Hebohnya mosi tidak percaya, yang sampai hari ini masih memanas, merupakan gambaran, bagaimana anggota dewan kita dalam memahami perbedaan sistem Pemerintahan dalam Negara RI. Mosi tidak percaya jelas keliru (Bukan salah), karena ini adalah dinamika dalam sistem Pemerintahan yang mengadopsi istilah dari luar,” ungkapnya lagi.
Ia menambahkan, pimpinan DRPD tidak bisa 100 persen disalahkan, karena posisinya sebagai pimpinan tentu ada kewajiban-kewajiban dari kewenangan-kewenangan, yang dimilikinya agar dirinya melakukan sesuatu sesuai dengan prosedur yang ada.
Ditinjau dari prespektif hukum, sambungnya, mosi tidak percaya tidak ada dasar hukum (Legal standing), kendati mosi tidak percaya adalah hak para anggota DPRD. Namun, lebih elegan jika dilemparkan untuk lembaga eksekutif, artinya ketidak percayaan anggota dewan dengan kinerja dan program-program yang dijalankan oleh eksekutif dalam hal ini Bupati dan Wakil Bupati.
“Hanya saja, sesama anggota dewan harusnya juga ada komunikasi-komunikasi yang lebih baik agar tidak ada kegaduhan seperti ini,” timpalnya. (***)